Sabtu, 23 Oktober 2010

Anak kecil yang merasa dewasa..

Cerita ini dimulai ketika tak sengaja saya membaca sebuah tulisan sederhana yang sebenarnya tidak menyedihkan, mungkin sedikit sedih “iya”, tapi ga juga..

Gadis yang empunya tulisan mungkin satu tahun lebih muda dari saya, namanya “kara”. Dalam tulisan kara itu, ia bercerita akan kerinduannya kepada ibu yang sudah lebih dahulu meninggalkan ia dan keluarganya. Hari itu tepat 5 tahun sang ibu meninggal..

Seperti yang saya sampaikan tadi, ia tidak menulis dengan gaya yang cengeng , malah cenderung gembira. Diawal saya bahkan tidak mengira bahwa akan sedemikian menyentuhnya.

Kara bercerita bagaimana orang-orang disekelilingnya menunjukan empati akan “moment 5 tahun perginya sang bunda”, baik dari pacar, calom mertua, tante dan adiknya sendiri. Sampai akhirnya saya tiba disatu bagian dimana kara menceritakan kembali peristiwa ketika ia akan merayakan ulang tahunnya yang ke 17.

Ketika itu, sang ibu sedang sibuk menyiapkan acara kenduri perayaan hari ulang tahun kara yang ke 17, wajarlah untuk beberapa gadis remaja terlebih di jakarta, moment “sweet seventeen” memang terbilang ditunggu-tunggu, sayapun sempat ikut-ikutan merayakannya dulu. Kembali ke kara dan sang ibu, si Ibu yang repot menyiapkan hidangan didapur mungkin jengah karena kara hanya cuek tak membantunya, Ibupun menegurnya “Kara, ayo dong bantu ibu, ini kan untuk merayakan ulang tahun ke 17 kamu, nanti kalo pesta pernikahan kamu, baru deh kamu bisa lepas tangan dan membiarkan orang lain yg mengerjakan semua” begitu kira-kira.

Hari itu, selain tepat 5 tahun sang ibu berpulang, kara tengah menunggu hri ‘besar” nya yang hanya tinggal beberapa hari lagi. Ia akan menikah besok. Tanpa ibu disampingnya, menyiapkan segala sesuatu untuknya.

Entah kenapa, karena bagian itu, tulisan yang bagi saya mulanya sama sekali tidak sedih, tiba-tiba membuat air mata saya keluar tak pakai permisi, tidak satu-satu tapi langsung banjir tak terbendung.

Pikiran saya menerawang pada percakapan saya beberapa bulan kebelakang dengan mama. Kala itu memang keluarga kami cukup banyak menerima undangan pernikahan dari kolega, ditambah lagi sepupu saya yang jarak usianya hanya terpaut satu tahun memutuskan menikah tahun ini, mama selalu ditanya entah basa-basi atau serius kapan akan ikutan menikahkan anaknya. Saya berinisiatif membuka percakapan dengan mama, bahwa saya baru akan memutuskan menikah paling cepat di usia 27 tahun dan saya berharap mama menghormati keputusan saya.

Mama tentu saja menyayangkan, tidak marah tentu saja karena percakapan kami ini santai dan dipenuhi dengan selingan tawa, tapi jelas sekali wajah mama kemudian menjadi serius dan sedikit tidak terima, ia berpesan bahwa usia 25 tahun sewajarnya pernikahan itu sudah terjadi karena berbagai pertimbangan. Dan saya yang keras kepala tetap menganggap omongan mama dan pembicaraan kami hanya angin lalu. Toh, saya masih belum siap bahkan tidak terpikirkan kearah sana, saya ingin kuliah dulu.

Namun, tulisan kara yang terbaca oleh saya itu, benar-benar menyadarkan, betapa selama ini saya hanyalah “anak kecil” yang merasa sudah dewasa dan sangat egois tapi merasa benar.

Saya tidak pernah memikirkan, seandainya kejadian “kara” terjadi pada saya. Selama ini, saya hanya memikirkan diri sendiri, memikirkan keinginan-keinginan sendiri, rencana-rencana sendiri tanpa melibatkan mama didalamnya, mungkin ini tak lepas dari hasil didikan beliau juga yang selalu membuat saya menjadi pribadi yang mandiri.

Saya tak ingin menyia-nyiakan waktu, saya ingin membahagiakan mama, sebelum saya benar-benar ditinggalkan. Sesuatu yang tidak pernah saya pikirkan dan takutkan lagi sejak saya tumbuh besar.

Membahagiakan disini mungkin lebih dari sekedar hari pernikahan yang dihadiri mama, tapi lebih jauh lagi, mungkin seorang cucu tapi saya lebih yakin bahwa mama ingin melihat saya tumbuh membangun keluarga dan memastikan saya berbahagia dengan kehidupan saya sendiri, kehidupan yang ia lahirkan dan ia didik sejak kecil, hingga suatu ketika ketika ia menutup mata, ia dapat pergi dengan tenang dan bahagia.

Mulai detik ini, tidak ada lagi target “27” dalam otak saya, saya iklas menjalani semuanya sesuai kehendak Tuhan, saya hanya ingin membuat orang yang sangat saya cintai dan saya yakin mencintai saya pula, bahagia sebelum saya benar-benar terlambat

Kiki sayang mama

Love,

M.I

Tidak ada komentar: